"Luka, luka, hilanglah luka
Biar senyum jadi senjata
Kau terlalu berharga untuk luka
Katakan pada dirimu
Semua baik-baik saja
Bila lelah, menepilah
Hayati alur napasmu" --- Diri/Tulus
Dear bloggers,
Salah satu dari dua tema yang saya rasa sulit adalah mengobati trauma. Jujur saya sendiri juga masih berjuang berdamai dengan rasa trauma yang saya miliki sekarang. Jika dilihat dari judul saya "Berdamai dengan Inner Child, Obati Trauma" itulah yang saya lakukan. Apasih yang harus kita lakukan sebelum berdamai dengan inner child kita? Saya akan mengulasnya di blog ini.
1. Temukan penyebabnya
Tidak serta merta saya menemukan penyebab trauma saya. Misalnya, saya bukan orang yang percaya dengan kemampuan saya. Tentu ini menimbulkan masalah pada saya. Setiap kali saya menghadapi ujian tulis saya bisa panik bahkan tidak bisa tidur. Oh ya saya tentu saja sudah pernah dirawat di rumah sakit karena saya tidak makan dan tidur gara-gara saya akan menghadapi ujian tulis. Padahal saya sudah mempersiapkan jauh-jauh hari sebelum ujian. Saya sendiri ketika ujian sudah mempersiapkan jauh-jauh hari, bahkan catatan sekolah saya adalah catatan yang paling laris ketika musim ujian. Pernah catatan saya dipinjam teman saya dan baru dikembalikan H-1 sebelum hari ujian. Tentu saja saya panik sampai saya di fase mual dan gelisah sepanjang hari sehingga saya mengurung diri di kamar kos. Setelah itu saya tidak pernah lagi meminjam catatan saya kepada siapapun ketika musim ujian. Jangan harap meminjam catatan saya.
Setelah saya bekerja, saya sadar saya tidak boleh begini terus. Saya mencari penyebabnya dan sekitar 2019 saya baru tersadar kenapa saya seperti itu. Adalah sifat ambisius saya terhadap nilai dan peringkat di kelas sejak kecil. Ya saya sudah menemukan penyebabnya. Saya harus berjuang melawannya karena takut sekali anak saya kelak menjadi seperti saya yang tidak percaya dengan kemampuan yang dimilikinya kelak.
2. Berdamai dengan inner child
Inner child yang akhir-akhir ini dibicarakan olah banyak orang, sebenarnya apa sih itu? Inner child adalah salah satu sifat manusia yang terbentuk ketika dirinya masih kecil. Karakter yang terbentuk sekadarang adalah tumpukan dari masa kecil kita tanpa kita sadari. Ya karakter saya adalah ambisius terhadap nilai dan peringkat saya menganggap jika saya tidak bisa dalam sebuah hal saya merasa saya adalah orang yang paling bodoh sedunia.
Saya pernah menuliskan di postingan saya sebelumnya Kata-kata Bijak untuk Diri Sendiri saya menceritakan sedikit pengalaman masa kecil saya. Saya bersekolah di sekolah dasar yang waktu itu adalah sekolah terfavorit di kota saya. Orangtua saya menaruh harapan besar kepada saya supaya saya bisa menjadi contoh untuk adik-adik saya. Mereka berharap saya bisa masuk ke kelas unggulan. Di sekolah tersebut ada dua kelas, kelas unggulan yang berisi anak-anak "pintar" dan anak-anak di bawah rangking 10. Saya ingat betul kelas unggulan siswanya dibatasi, saat itu satu kelas ada 26 orang anak. Oh tentu saja persaingan sangat sengit, bayangkan saja sejak kelas 3 SD harus dipaksa belajar dan les tambahan demi mendapat predikat "anak pintar" versi mereka supaya bisa masuk ke kelas unggulan. kelas unggulan dimulai dari kelas 4 sampai kelas 6. Bahkan guru-gurunya jika ada salah satu yang menurut mereka tidak pintar dan masuk kelas unggulan mereka akan menjadikan murid tersebut bahan bullyan. Menurut mereka soft skill jaman itu tidak terlalu penting yang penting adalah rangking dan nilai tinggi. Oh ya jika saya mendapat nilai yang tidak diharapkan oleh orangtua saya, maka mereka akan dipanggil ke sekolah. Ibu saya sering mengomel pagi hingga petang bahkan keesokan harinya beliau masih mengungkit masalah tersebut dan akibatnya saya disuruh untuk belajar lebih keras lagi. Terkadang membentak saya. Saya ingat waktu itu sekolah di kelas unggulan dimulai pukul 07.00 WIB sampai pukul 14.00 WIB. Padahal di sekolah lain sekolah diakhiri pukul 12.00 atau pukul 12.30 paling lama.
Saya mulai membenci diri saya sendiri apalagi ketika saya tidak bisa hapalan dan disuruh maju ke depan kemudian di bully habis-habisan. Ketika ujian pun saya selalu belajar sampai larut malam ditambah les yang biasanya sampai malam bahkan di hari Minggu. Tidak ada waktu bersantai, setiap hari saya seperti dikejar-kejar sesuatu. Saya masih ingat saya membenci hari Senin hahahaha, hari yang sungguh melelahkan buat saya.
Berbeda sekali dengan adik-adik saya. Jika mereka mendapatkan nilai ibu saya jarang atau bahkan tidak pernah mengomel. Itulah yang menyebabkan mereka lebih percaya diri. Terutama adik saya nomor 2 dia memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Dan tidak terlalu mementingkan peringkat atau nilai namun dia sering kali masuk ke dalam 5 besar di sekolah (dan kami satu sekolah waktu SD).
Saya belajar dari sini. Tekanan dari semenjak kecil membuat saya seperti haus dengan pengakuan jika saya tidak bodoh. Saya tidak ingin luka yang saya alami ketika saya kecil terjadi kepada anak saya. Saya takut jika nanti dia hanya mementingkan nilai dari orang lain dan tidak menghargai hasil kerja kerasnya. Pelajaran bagi kita semua terutama para ibu, "Hargai jerih payah mereka, jangan pernah membentak karena luka itu akan membekas meskipun mereka dewasa. Jangan pernah gengsi meminta maaf pada mereka jika kita melakukan kesalahan atau berterimakasih sudah menjadi media belajar untuk kita"
Oleh sebab itu saya memutuskan untuk berdamai dengan inner child saya. Saya pernah mengikuti webinar parenting. Narasumber dalam webinar tersebut berkata, "Lihatlah kaca kemudian bayangkan kaca itu adalah diri anda ketika kecil. Peluk dia dan ucapkan, kamu sudah melakukan yang terbaik. Kamu hebat dan terimakasih bertahan sampai sejauh ini. Menangislah jika perlu, menangis hingga lelah"
Wah, dan saya benar-benar menangis saat itu. Saya berterimakasih pada masa kecil saya yang telah berjuang dan bertahan.
3. Pandai-pandai bersyukur
Ketika saya teringat dengan trauma masa kecil saya, terkadang saya menuliskan di buku jurnal saya. Saya memiliki halaman gratitude list. Sangat membantu saya jika saya masih memikirkan hal-hal buruk. Saya sering mengamati orang ketika di jalan dan saya bersyukur jika saya memiliki fasilitas belajar yang lebih baik dibanding beberapa orang yang saya temui. Hal itu masih saya lakukan sampai sekarang dan ketika saya teringat rasa sakit itu saya membaca list yang tulis sangat menenangkan untuk saya.
***
Mungkin saya tidak dapat membantu banyak dari tulisan yang saya buat ini. Namun, percayalah kalian sudah berusaha sekuat tenaga dan berterimakasihlah pada diri kalian. Semoga luka-luka kalian hilang, karena kalian terlalu berharga untuk luka.
Best wishes,
Ria Dhea
Ini lanjutannya ya. Ternyata dampaknya sangat besar buat anak yang sering dibentak. Terus, bagian ajakan untuk bercermin, aku ngebayanginnya aja udah mau nangis :')
BalasHapusSuka banget sama tulisannya. Aku bookmark buat reminder biar bisa bersifat bijak menghadapi kesalahan anak :)
Betul kak! menjadi orangtua tidak segampang yang orang dulu bilang. Setelah menjadi ibu belajar, belajar, dan belajar jangan sampai memberikan trauma pada anak karena ego kita. Tapi ada pelajaran dr orangtua saya, segalak-galaknya orangtua saya dulu tidak pernah sekalipun mengumpat bilang kepada anak-anaknya bodoh. Karena orangtua saya sadar kalau ucapan adalah doa, ini yang perlu saya tiru :)
HapusJangan sampai melabeli anak dengan label negatif. Semangat untuk kita!!!
Masya Allah. Semangaat 😁
Hapus